Senin, 02 Juli 2012

Developmentally Appropriate Practices (DAP)

Pendidikan Patut Sesuai Tahapan Perkembangan Anak


Latar Belakang


Kurikulum Amerika tahun 1960-1970-an dianggap gagal menghasilkan peserta didik yang dapat berpikir kritis dan menyelesaikan masalah kehidupan.  Penyebab kegagalan ini adalah :
1. Orientasinya hanya menghapal (rote memorization)
2. Lebih banyak menekankan aspek kognitif dari pada aspek lain (sosial, emosi, spiritual)
3. Pelajaran bersifat abstrak, tidak konkrit
4. Materi pelajaran terpisah dari pelajaran lain, tidakbersifat holistik
5. Guru berceramah, peserta didik pendengar pasif
6. Lebih banyak mengerjakan kegiatan individu
7. Ujian/ulangan lebih mengutamakan pilihan ganda



Konsep DAP

  • Mempertahankan anak sebagai individu yang utuh (the whole child)
  • Melibatkan 4 komponen, yakni : Pengetahuan (knowledge), Keterampilan (skills), Sifat Alamiah (disposition), dan Perasaan (feelings)
Konsep ini dianggap dapat mempertahankan dan meningkatkan gairah atau semangat anak-anak untuk belajar. 

Dimensi Konsep DAP

1. Patut Menurut Umur, yakni sesuai dengan tahap-tahap perkembangan anak
2. Patut Secara Sosial dan Budaya, yakni sesuai dengan pengalaman belajar yang berkna dan relefan dengan sosial-budaya
3. Patut Secara Individual, yakni sesuai dengan pertumbuhan dan karakteristik anak, kelebihannya, ketertarikannya dan pengalamannya

Teori yang Mendasari DAP

1. Teori Piaget (Teori Perkembangan Kognitif)
  • Constructivism : pemahaman anak dibangun (constructed) melalui action/pengalaman konkrit
  • Asimilasi : mengetahui sesuatu karena sudah ada pengalaman sebelumnya
  • Akomodasi : proses memodifikasi apa yang diketahui sebelumnya karena menghadapi fenomena baru
Suasana belajar akan lebih efektif kalau seorang anak dihadapkan pada konflik atau dilema, serta tindakan atau pengalaman nyata, sehingga ada proses akomodasi dan asimilasi.
Tahap Perkembangan kognitif anak :
a. Pre-operational (18 bulan - 6 atau 7 tahun),
    Mulai berpikir menggunakan simbol/objek konkrit (concrete, here, now)
b. Concrete operational (7 - 12 tahun),
    Mulai berpikir abstrak dan logis, tapi masih memerlukan obyek konkrit
Dari teori ini, maka belajar sebaiknya mengenalkan konsep, bukan hapalan (rote learning) dan menggunakan objek konkrit.

2. Teori Erik Erikson (Teori Perkembangan Emosi)
  • Perkembangan emosi positif sangat penting dalam perkembangan jiwa anak selanjutnya, sehingga anak percaya diri dan bergairah untuk belajar
  • Perkembangan emosi sangat tergantung pada peran orang tua dan guru

Tahapan perkembangan emosi :
a. Initiative vs Guilt (3,5 - 6 tahun),
  Pada usia ini, anak harus dapat bereksperimen, bereksplorasi, berimajinasi, berani mengambil resiko, berani mencoba, sehingga anak kreatif dan antusias belajar.  Anak-anak yang terlalu banyak dikritik dan disalahkan akan mematikan kretifitas karena takut mencoba.  Dengan kata lain, pada usia ini anak memerlukan suasana belajar yang memberikan kesempatan anak aktif, berimajinasi, bersosialisasi dan berkreasi, bukan sebagai objek yang pasif.
b. Industry vs Inferiority (6 tahun - pubertas)
    Masa ini merupakan masa yang paling kritis dalam membangun kepercayaan dirinya bahwa mereka mampu  untuk berkarya (a sense of competence).  Pada masa ini, anak sebaiknya diberikan kegiatan dan permainan yang membuat mereka merasa berhasil melakukannya.  Memberikan nilai/ranking dapat menimbulkan a sense of inferiority.

3. Teori Vygotsky (Teori Sosio-Kultural)
  • Cara belajar efektif melalui praktek nyata (action) terutama dengan bermain
  • Perkembangan intelektual anak mencakup bagaimana mengaitkan bahasa dengan pikiran.  Dengan aktif berbicara (diskusi) anak lebih mengerti konsep
  • Bahasa  merupakan alat bantu yang efektif dalam proses belajar.  Bermain dan bereksplorasi dapat membantu perkembangan otak, berbahasa, bernalar, dan bersosialisasi
Dari teori ini, dalam kegiatan belajar seyogyanya melibatkan anak dalam berbicara dan berdiskusi serta membiasakan anak untuk mengekspresi pikiran dan perasaannya.  Kelas yang sunyi, dimana anak sebagai pendengar pasif dan tidak ada aktifitas konkrit akan membosankan dan belajar menjasi tidak efektif.

Brain-Based Learning
Pembelajaran Ramah Otak

  • Otak bekerja secara paralel dan simultan
  • Proses belajar melibatkan seluruh aspek fisiologi manusia
  • Otak selalu mencari makna/arti
  • Kerja otak dipengaruhi oleh emosi
  • Kerja otak optimal jika diberi tantangan dan terhambat jika ada ancaman
  • Lebih mudah mengerti denan diberikan fakta secara alami atau ingata spatial (bentuk/gambar)

(Disarikan dari Materi In House Training Guru KB/TKIT Al Ittihad dengan IHF)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar